Sebuah tempat yang menyimpan banyak misteri, karena suasananya yang masih asri, dipenuhi pohon di sana sini, bahkan cenderung terlihat agak angker. Banyak mitos yang timbul di sekitar daerah ini, yang tidak lain adalah misteri dari dua gua yang teronggok di sana, yaitu gua Belanda dan gua Jepang. Gua Belanda memang lebih luas dan terang dibandingkan dengan Gua Jepang, namun keduanya konon
menyimpan kisah misteri yang masih belum terpecahkan hingga saat ini – salah satunya adalah penampakan prajurit jaman Belanda dan jaman Jepang. Selain itu, banyak isu yang mengutarakan bahwa di Tahura Dago Pakar ini merupakan tempat dimana Prabu Siliwangi – yang bernama asli Sri Baduga Maharaja, seorang prabu dari Kerajaan Pakuan, Pajajaran – berada, sehingga seringkali daerah ini dikaitkan dengan suatu kisah misteri tiada akhir. Gua Jepang dan Belanda ini berada didalam Taman Hutan Ir. Juanda - Bandung. Untuk masuk kesini dikenakan tarif Rp. 7.500/orang dan Rp. 5000/motor. Kalau kalian ingin sekalian olahraga, bisa masuk melalui pintu depan dan jalan kaki ke arah gua. Menurut saya jauh sih, makanya saya pake motor aja. Hihihi. Dua buah gua yang hanya terpisahkan jarak kurang lebih 400 meter tersebut memiliki nama yang disesuaikan dengan negara penjajah yang berkuasa saat gua tersebut di bangun. Gua Belanda yang dibangun pada tahun 1918 memiliki umur yang sedikit lebih tua dibandingkan Gua Jepang yang baru dibangun pada tahun 1942.Gua Jepang merupakan peninggalan Perang Dunia II. Sebagai sarana pertahanan militer di zaman Jepang pada tahun 1942-1945, terutama setelah Jepang mempertahankan diri dari kedatangan sekutu di Indonesia . Gua Jepang ini dibangun untuk memenuhi keperluan perang gerilya karena Jepang memperkirakan bahwa tentara sekutu akan datang melewati laut selatan dan mendarat di sekitar pantai Parangtritis. Di gua ini di temukan 18 bangunan bunker yang sebagian besar masih dalam keadaan utuh. Bentuk bunker tersebut beranekaragam, serta mempunyai fungsi yang berlainan pula, misalnya sebagai tempat pengintaian, ruang tembak, ruang pertemuan, gudang dan dapur. Ketebalan dinding rata-rata 50-70 cm , dari bahan beton bertulang, semen dan batu padas yang sudah tersedia di sekitarnya. Bunker-bunker tersebut dibangun saling berdekatan (30 m), serta dihubungkan dengan parit perlindungan yang berada di luar setinggi (1 m). Pertama, saya menuju Gua Jepang. Sebenarnya bisa mengendarai motor sampai ke depan gua. Cuma males juga banyak tukang parkir abal-abal. Guanya gelap dan lembap. Ukuran gua yang cukup besar ditambah dengan lorong-lorong ventilasi udara di beberapa sudut, mengakibatkan suasana didalam gua tidaklah pengab. Lorong-lorong panjang dan banyaknya persimpangan didalam gua tersebut cukup membingungkan bagi mereka yang pertama kali memasuki gua. Jujur aja, saya takut gelap. Udara lembab juga membuat alergi saya kambuh. Jadi saya tidak masuk terlalu dalam. Gua Jepang masih memiliki struktur bangunan seperti asalnya. Dinding-dinding gua dari batu karang yang keras masih belum dilapisi dengan semen seperti apa yang terjadi pada Gua Belanda. Di dalam gua ini juga tidak terdapat instalasi penerangan. Sepertinya gua ini belum selesai sepenuhnya semenjak dibuat tahun 1942. Bukan hal yang aneh, melihat dinding gua yang keras pastilah membutuhkan waktu yang lama untuk membikin gua selebar dan seluas itu. Terlebih pada saat itu alat yang digunakan untuk membuat gua masih berupa alat-alat tradisional semacam linggis dan cangkul yang tentunya dibutuhkan pekerja dalam jumlah yang banyak sekali. Setelah puas di Gua Jepang, saya ke Gua Belanda. Lorong-lorong yang berada dalam gua pada bagian dindingnya sudah dilapisi dengan semen, sementara pada bagian atas terdapat instalasi penerangan yang sudah ada sejak dulu, tapi sudah tidak berfungsi dengan baik. Mungkin memang sengaja tidak diaktifkan untuk memberi peluang pada penduduk sekitar menawarkan jasa penyewaan lampu senter. Harganya lumayan mahal, Rp. 3000, trus tukang senternya rada maksa lagi agar barangnya mau kita sewa. Kedua gua tersebut memang merupakan bagian saksi sejarah yang mewarnai perjuangan bangsa Indonesia. Telah banyak korban yang berjatuhan untuk membangun kedua gua tersebut. Keberadaan kedua gua tersebut nampaknya pantas menjadi bukti masa lalu yang coba mengingatkan bahwa bagaimanapun juga perang ataupun penjajahan adalah salah satu bentuk karya manusia untuk menghancurkan dirinya sendiri, suatu hal yang sebaiknya tidak boleh terjadi lagi di masa-masa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar